Tanaman Obat
TANAMAN OBAT, SEBUAH TINJAUAN SINGKAT
Ernawati Munadi
Tanaman obat mungkin tidak sepopuler jenis tanaman lain, khususnya tanaman penghasil bahan makanan seperti buah-buahan, umbi-umbian dan sebagainya. Namun bagi sebagian orang pencinta alam, tanaman obat merupakan tanaman yang sangat populer, apalagi dengan perubahan pola hidup yang saat ini sudah mengglobal yang dikenal dengan istilah back to nature. Back to nature bukan hanya menjangkit pada pola konsumsi masyarakat, namun sudah merambah juga ke sektor-sektor lain termasuk pengobatan. Secara global juga sudah terjadi perubahan pola pengobatan masyarakat ke obat-obat tradisional yang terbuat dari bahan alami. Tanaman obat sangat populer digunakan sebagai bahan baku obat tradisional dan jamu, yang jika dikonsumsi akan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (immune system), karena tanaman ini mempunyai sifat spesifik sebagai tanaman obat yang bersifat pencegahan (preventif) dan promotif melalui kandungan metabolit sekunder seperti gingiro pada jahe dan santoriso pada temulawak yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Mengkonsumsi jamu tidak mempunyai sifat kuratif yang berarti menyembuhkan, namun lebih ke arah pencegahan dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sehingga lebih bermanfaat untuk sehat dan bukan untuk sembuh. Hal itu karena tanaman obat yang ada saat ini masih belum dikembangkan menjadi obat herbal, tetapi masih lebih untuk jamu. Namun, jika tanaman obat ini mampu diproduksi sebagai Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka yang sudah diuji klinis pada manusia bisa meningkatkan levelnya menjadi kuratif atau bisa menyembuhkan. Sampai saat ini di Indonesia baru memiliki delapan obat fitofarmaka yang sudah memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Harian Jurnalasia, 2017).
1. Jenis dan Produksi Tanaman Obat di Indonesia
Tanaman obat sendiri memiliki ribuan jenis spesies. Dari total sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90% dari tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25% diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu (PT. Sido Muncul, 2015). Tidak mengherankan jika kemudian Indonesia dikenal dengan julukan live laboratory. Di Indonesia sendiri, meskipun disinyalir 90% total jenis tumbuhantumbuhan berkhasiat jamu ada di Indonesia, ternyata hanya terdapat sekitar 9.000-spesies tanaman yang diduga memiliki khasiat obat. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 5% yang dimanfaatkan sebagai bahan fitofarmaka sedangkan sekitar 1000-an jenis tanaman sudah dimanfaatkan untuk bahan baku jamu. Di Indonesia tanaman obat juga sering dikategorikan sebagai tanaman
Biofarmaka. Tanaman biofarmaka mencakup 15 (lima belas) jenis tanaman, meliputi jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dlingo/dringo, kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto, dan lidah buaya (Statistik Hortikultura, 2014).
Biofarmaka. Tanaman biofarmaka mencakup 15 (lima belas) jenis tanaman, meliputi jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci, dlingo/dringo, kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto, dan lidah buaya (Statistik Hortikultura, 2014).
Berdasarkan data Statistik Hortikultura tahun 2014, total produksi tanaman biofarmaka di Indonesia sebesar 595.423.212 kilogram, meningkat 9,97% dibandingkan tahun 2013. Komoditas yang memberi kontribusi produksi terbesar terhadap total produksi tanaman biofarmaka di Indonesia, yaitu jahe (37,98%), kunyit (18,82%), kapulaga (12,22%), laos/lengkuas (10,50%), dan kencur (6,33%). Sementara persentase produksi untuk tanaman biofarmaka lainnya masing-masing kurang dari 5% dari total produksi tanaman biofarmaka di Indonesia. Mengingat jenis tanaman obat yang sangat beragam tersebut, serta kontribusi dominan beberapa tanaman obat, maka Bunga Rampai Info Komoditi (BRIK) Tanaman Obat ini hanya memfokuskan pada beberapa tanaman obat jenis rimpang-rimpangan yang umumnya telah dibudidayakan dan sudah dimanfaatkan untuk memproduksi obat dan jamu serta khasiat dan keamanannya telah dibuktikan berdasarkan uji klinik sejajar dengan obat modern (Askan, 2004 dalam Pujiasmanto, 2016).
Tanaman obat tersebut adalah jahe, laos/lengkuas, kencur, dan kunyit. Salah satu jenis tanaman obat yang paling popular digunakan sebagai bahan baku utama jamu dan obat tradisional adalah jahe. Produksi jahe nasional tumbuh rata-rata sebesar 35,9% per tahun, meningkat dari 94,7 ribu ton pada tahun 2011 menjadi 303 ribu ton pada tahun 2015 (BPS, 2016). Dibandingkan dengan beberapa negara penghasil jahe di dunia, Indonesia merupakan negara terbesar ke empat penghasil jahe setelah Tiongkok, India, dan Nepal. Total produksi jahe di dunia pada tahun 2013 sebesar 2,1 juta ton dan hampir 90% berasal dari Asia atau setara dengan 1,9 juta ton.
2. Konsumsi Tanaman Obat
Tanaman obat bisa dimanfaatkan/dikonsumsi dalam berbagai bentuk, seperti dikonsumsi langsung oleh rumah tangga untuk bumbu dapur, serta sebagai bahan baku makanan dan minuman, obat tradisional dan kosmetik. Di samping itu, tanaman obat juga diekspor ke pasar dunia. Dengan demikian, permintaan tanaman obat bisa berasal dari pasar dalam negeri dan pasar ekspor. Permintaan tanaman obat untuk pasar dalam negeri berasal dari: (1) Industri dan usaha obat tradisional, (2) Industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, dan (3) konsumsi langsung rumah tangga (Pribadi, 2009).
Menurut Gunawan (2014), perusahaan industri obat dan industri farmasi menyerap produksi tanaman obat hingga mencapai 63%, sementara 23% merupakan konsumen rumah tangga dan 14% untuk ekspor. Hal ini juga sesuai dengan data Kementerian Pertanian, yang juga mengindikasikan bahwa total produksi tanaman obat di Indonesia 63%-nya diserap oleh industri yang mencapai 1.023 perusahaan industri obat tradisional, dan industri farmasi. Sementara itu, 14% diantaranya untuk tujuan ekspor, dan sisanya sebesar 23% untuk konsumsi langsung rumah tangga (Balitbangtan Deptan, 2007).
Konsumsi tanaman obat untuk pasar domestik masih didominasi oleh tanaman jahe dibandingkan jenis tanaman obat lainnya seperti temulawak, kunyit dan kencur. Hal ini seperti terlihat pada beberapa jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan industri obat tradisional dalam jumlah besar pada tahun 2007, antara lain jahe sebesar 5.000 ton/tahun, kapulaga 3.000 ton/ tahun, temulawak 3.000 ton/tahun, adas sebanyak 2.000 ton/tahun, kencur 2.000 ton kering/tahun, dan kunyit 3.000 ton kering/tahun serta 1.500 ton basah/tahun (Maximillian, 2007). Pada tahun 2002, konsumsi jahe mencapai 31.294,28 ton, dari jumlah tersebut 69,2% digunakan untuk konsumsi rumah tangga, 13,4% dikonsumsi untuk Industri Obat Tradisional (IOT), dan 17,44% dikonsumsi oleh Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). Tingginya konsumsi jahe menyebabkan tren perkembangan konsumsi jahe Indonesia cenderung meningkat sebesar 21,9% selama 2011-2015, sementara pada periode yang sama konsumsi tanaman kunyit hanya meningkat sebesar 5,92%. Konsumsi jahe pada tahun 2011 sebesar 115.949 ton dan meningkat menjadi 282.025 ton pada tahun 2015. Sementara konsumsi kunyit cenderung berfluktuasi, namun sempat meningkat dari 82.401 ton pada tahun 2011 menjadi 103.240 pada tahun 2015. Tingginya tren peningkatan konsumsi tanaman jahe ini antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk kembali mengunakan bahan-bahan alami yang dapat digunakan sebagai obat. Tren ini juga diikuti oleh perkembangan perusahaan jamu yang cukup pesat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2016, perusahaan IOT dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) di Indonesia sebanyak 112 perusahaan. Sementara itu, hingga tahun 2015 jumlah Usaha Kecil Obat Tanaman (UKOT) dan Usaha Ernawati Munadi 4 Mikro Obat Tradisional (UMOT) mencapai 828 perusahaan. Perusahaanperusahaan
tersebut tersebar di propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur.
3. Perdagangan Tanaman Obat
Tanaman obat bisa dimanfaatkan/dikonsumsi dalam berbagai bentuk, seperti dikonsumsi langsung oleh rumah tangga untuk bumbu dapur, serta sebagai bahan baku makanan dan minuman, obat tradisional dan kosmetik. Di samping itu, tanaman obat juga diekspor ke pasar dunia. Dengan demikian, permintaan tanaman obat bisa berasal dari pasar dalam negeri dan pasar ekspor. Permintaan tanaman obat untuk pasar dalam negeri berasal dari: (1) Industri dan usaha obat tradisional, (2) Industri makanan, minuman, farmasi dan kosmetik, dan (3) konsumsi langsung rumah tangga (Pribadi, 2009).
Menurut Gunawan (2014), perusahaan industri obat dan industri farmasi menyerap produksi tanaman obat hingga mencapai 63%, sementara 23% merupakan konsumen rumah tangga dan 14% untuk ekspor. Hal ini juga sesuai dengan data Kementerian Pertanian, yang juga mengindikasikan bahwa total produksi tanaman obat di Indonesia 63%-nya diserap oleh industri yang mencapai 1.023 perusahaan industri obat tradisional, dan industri farmasi. Sementara itu, 14% diantaranya untuk tujuan ekspor, dan sisanya sebesar 23% untuk konsumsi langsung rumah tangga (Balitbangtan Deptan, 2007).
Konsumsi tanaman obat untuk pasar domestik masih didominasi oleh tanaman jahe dibandingkan jenis tanaman obat lainnya seperti temulawak, kunyit dan kencur. Hal ini seperti terlihat pada beberapa jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan industri obat tradisional dalam jumlah besar pada tahun 2007, antara lain jahe sebesar 5.000 ton/tahun, kapulaga 3.000 ton/ tahun, temulawak 3.000 ton/tahun, adas sebanyak 2.000 ton/tahun, kencur 2.000 ton kering/tahun, dan kunyit 3.000 ton kering/tahun serta 1.500 ton basah/tahun (Maximillian, 2007). Pada tahun 2002, konsumsi jahe mencapai 31.294,28 ton, dari jumlah tersebut 69,2% digunakan untuk konsumsi rumah tangga, 13,4% dikonsumsi untuk Industri Obat Tradisional (IOT), dan 17,44% dikonsumsi oleh Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). Tingginya konsumsi jahe menyebabkan tren perkembangan konsumsi jahe Indonesia cenderung meningkat sebesar 21,9% selama 2011-2015, sementara pada periode yang sama konsumsi tanaman kunyit hanya meningkat sebesar 5,92%. Konsumsi jahe pada tahun 2011 sebesar 115.949 ton dan meningkat menjadi 282.025 ton pada tahun 2015. Sementara konsumsi kunyit cenderung berfluktuasi, namun sempat meningkat dari 82.401 ton pada tahun 2011 menjadi 103.240 pada tahun 2015. Tingginya tren peningkatan konsumsi tanaman jahe ini antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk kembali mengunakan bahan-bahan alami yang dapat digunakan sebagai obat. Tren ini juga diikuti oleh perkembangan perusahaan jamu yang cukup pesat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2016, perusahaan IOT dan Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA) di Indonesia sebanyak 112 perusahaan. Sementara itu, hingga tahun 2015 jumlah Usaha Kecil Obat Tanaman (UKOT) dan Usaha Ernawati Munadi 4 Mikro Obat Tradisional (UMOT) mencapai 828 perusahaan. Perusahaanperusahaan
tersebut tersebar di propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur.
3. Perdagangan Tanaman Obat
Berdasarkan pada sumbernya, tanaman obat yang diperdagangkan di Indonesia dapat dibedakan menjadi tanaman obat hasil budidaya dan tanaman obat hasil pengambilan langsung (eksploitasi) dari hutan. Saat ini tanaman obat hasil budidaya hanya sebesar 22% dan pengambilan langsung dari hutan sebesar 78% (DPP GP Jamu, 2016). Berbagai jenis biofarmaka budidaya yang dibutuhkan oleh perusahaan seperti PT. Sidomuncul, PT. Air Mancur, PT. Indo Farma, Dayang Sumbi, CV. Temu Kencono, Indotraco, PT. Nyonya Meneer, Herba Agronusa dan Jamu Jenggot, merupakan sebagian dari serapan simplisia biofarmaka oleh 10 industri besar dan 12 industri menengah obat tradisional di Indonesia. Di antara tanaman obat hasil budidaya tersebut, jahe merupakan komoditas tanaman obat dengan transaksi perdagangan terbesar dibandingkan dengan komoditas tanaman obat lainnya. Sebagai ilustrasi, menurut Maxilliam (2007), di pasar domestik tahun 2007, rimpang temulawak dan rimpang jahe merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, sebesar rata-rata 310.870 kg/tahun dan 272.854 kg/tahun.
Berdasarkan pada hasil diskusi terfokus dengan beberapa pemangku kepentingan tanaman obat, kendala yang dihadapi dalam produksi tanaman obat antara lain adalah sebagian besar tanaman bersifat alami dan belum bisa dibudidayakan karena dari aspek teknologipun masih banyak yang belum menguasai. Khusus untuk tanaman obat yang bisa dibudidayakan, khususnya jenis rimpang-rimpangan, kendala yang dihadapi adalah persaingan dengan komoditas yang lebih bernilai ekonomis tinggi misalnya tanaman pangan. Dari segi kebutuhanpun, tanaman obat tidak sebesar sayuran atau buahbuahan yang setiap saat dapat diserap pasar. Akibatnya, meskipun budidaya tanaman ini sangat memungkinkan, namun karena rendahnya nilai ekonomis tanaman obat maka tidak banyak petani yang mau mengkhususkan diri membudidayakan tanaman obat, dan jika adapun dilakukan dengan sistem tumpangsari1.
Dalam perdagangan dunia, tanaman obat dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok Harmonized System (HS), yaitu: (1) Kelompok HS 0910 - jahe, kunyit, turmeric (curcuma), daun salam, bumbu kari dan rempah-rempah lain; (2) Kelompok HS 0909 - biji adas manis, adas, ketumbar, jintan, jemuju atau buah jenever; (3) Kelompok HS 0908 - biji pala, bunga pala (fuli) dan kapulaga; (4) Kelompok kelompok HS 0905 – vanili; (5) Kelompok HS 0906 - kayu manis dan bunga kayu manis, dan (6) Kelompok HS 0907 – cengkeh.
Perdagangan total terhadap ke-6 kelompok tanaman yang dikategorikan sebagai tanaman obat tersebut mencapai USD 4,3 miliar pada tahun 2015 dengan tren ekspor yang positif sebesar 3,4% selama 2011-2015. Kelompok HS 0910 - jahe, kunyit, turmeric, daun salam, bumbu kari dan rempah-rempah lain mendominasi perdagangan dengan nilai impor mencapai USD 2,1 miliar pada tahun 2015. Pada kelompok ini, permintaan dunia didominasi oleh jahe (HS 091010) dengan pangsa impor pada tahun 2015 mencapai 36,2% atau dengan nilai impor sebesar USD 745,8 juta meskipun mengalami penurunan 18,1% dibandingkan impor tahun sebelumnya. Importir terbesar untuk komoditas jahe adalah Jepang dengan pangsa impor yang mencapai 15,7% (FAO, 2016). Empat negara importir terbesar lainnya adalah Amerika Serikat, Belanda, Pakistan, dan Jerman. Kelima negara importir jahe terbesar tersebut menguasai 54,1% pasar atau senilai USD 406,7 juta. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan negara yang mengekspor jahe terbesar di dunia dengan pangsa ekspor mencapai 65,1% pada tahun 2015 dengan nilai ekspor sebesar USD 485,3 juta, meskipun sempat mengalami penurunan sebesar 17,0% dari ekspor tahun sebelumnya. Indonesia sendiri hanya mampu berkontribusi 2,6% terhadap ekspor dunia setelah Belanda, India, Thailand, dan Peru dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 9,6%, 6,9%, 3,6%, 3,2%.
Melihat peran Indonesia dalam perdagangan tanaman obat dunia ini memang agak ironis, sehingga berbagai upaya harus dilakukan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam perdagangan tanaman obat di dunia. Hal itu bukan hanya karena Indonesia merupakan live laboratory untuk tanaman obat, namun juga karena prospek perdagangan tanaman obat sendiri juga masih sangat terbuka lebar. World Health Organization (WHO) bahkan memprediksi permintaan tanaman obat mencapai nilai USD 5 triliun pada tahun 2050. Selain itu, permintaan di pasar seperti Amerika Serikat juga menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan (Sharma, 2004).
4. Potensi dan Kendala Budi Daya Tanaman Obat
Sebagai negara yang berada di daerah tropis, Indonesia mempunyai potensi tanaman obat kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Dari total sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90% dari tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25% diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu (PT. Sido Muncul, 2015). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan dalam hal varian tanaman yang tidak dimiliki oleh kebanyakan negara lainnya di dunia. Prospek budidaya tanaman obat sekarang ini semakin terbuka lebar. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya industri obat herbal baik di dalam maupun di luar negeri akibat gaya hidup back to nature. Selain itu semakin luasnya pemanfaatan tanaman obat untuk keperluan industri lain di luar industri obat tradisional dan farmasi, seperti industri makanan dan minuman, serta industri kosmetik membuat kebutuhan akan tanaman obat sebagai bahan baku semakin tinggi. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Kementerian Perindustrian, industri produk obat tradisional Indonesia telah berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Data pada tahun 2010 mencatat industri obat tradisional Indonesia hanya sebesar Rp 1,5 triliun, kemudian meningkat sebesar 23,3% menjadi Rp 2,8 triliun pada tahun 2013. Meskipun memiliki peluang yang sangat luar biasa dalam budidaya tanaman obat, Indonesia masih menghadapi banyak kendala dalam hal produksi.
Beberapa kendala tersebut antara lain penyelenggaraan kegiatan budidaya tanaman obat yang belum profesional (diperkirakan 90% bahan baku masih berasal dari tumbuhan liar, hutan dan hasil pekarangan), ketidakmampuan petani dalam menjaga kualitas dan mutu tanaman obat yang disebabkan oleh minimnya bimbingan dan pelatihan yang diberikan kepada petani, dan masih minimnya perhatian industri tanaman obat terhadap hasil-hasil penelitian ilmiah dalam upaya pengembangan produk dan pasar (Pujiasmanto, 2009). Disamping kendala-kendala tersebut, salah satu kendala lainnya yang perlu mendapatkan perhatian besar adalah dukungan pembiayaan dalam mengembangkan usaha agribisnis, terutama untuk petani skala kecil (Pelita, 2016).
Berdasarkan pada hasil diskusi terfokus dengan beberapa pemangku kepentingan tanaman obat, kendala yang dihadapi dalam produksi tanaman obat antara lain adalah sebagian besar tanaman bersifat alami dan belum bisa dibudidayakan karena dari aspek teknologipun masih banyak yang belum menguasai. Khusus untuk tanaman obat yang bisa dibudidayakan, khususnya jenis rimpang-rimpangan, kendala yang dihadapi adalah persaingan dengan komoditas yang lebih bernilai ekonomis tinggi misalnya tanaman pangan. Dari segi kebutuhanpun, tanaman obat tidak sebesar sayuran atau buahbuahan yang setiap saat dapat diserap pasar. Akibatnya, meskipun budidaya tanaman ini sangat memungkinkan, namun karena rendahnya nilai ekonomis tanaman obat maka tidak banyak petani yang mau mengkhususkan diri membudidayakan tanaman obat, dan jika adapun dilakukan dengan sistem tumpangsari1.
Dalam perdagangan dunia, tanaman obat dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok Harmonized System (HS), yaitu: (1) Kelompok HS 0910 - jahe, kunyit, turmeric (curcuma), daun salam, bumbu kari dan rempah-rempah lain; (2) Kelompok HS 0909 - biji adas manis, adas, ketumbar, jintan, jemuju atau buah jenever; (3) Kelompok HS 0908 - biji pala, bunga pala (fuli) dan kapulaga; (4) Kelompok kelompok HS 0905 – vanili; (5) Kelompok HS 0906 - kayu manis dan bunga kayu manis, dan (6) Kelompok HS 0907 – cengkeh.
Perdagangan total terhadap ke-6 kelompok tanaman yang dikategorikan sebagai tanaman obat tersebut mencapai USD 4,3 miliar pada tahun 2015 dengan tren ekspor yang positif sebesar 3,4% selama 2011-2015. Kelompok HS 0910 - jahe, kunyit, turmeric, daun salam, bumbu kari dan rempah-rempah lain mendominasi perdagangan dengan nilai impor mencapai USD 2,1 miliar pada tahun 2015. Pada kelompok ini, permintaan dunia didominasi oleh jahe (HS 091010) dengan pangsa impor pada tahun 2015 mencapai 36,2% atau dengan nilai impor sebesar USD 745,8 juta meskipun mengalami penurunan 18,1% dibandingkan impor tahun sebelumnya. Importir terbesar untuk komoditas jahe adalah Jepang dengan pangsa impor yang mencapai 15,7% (FAO, 2016). Empat negara importir terbesar lainnya adalah Amerika Serikat, Belanda, Pakistan, dan Jerman. Kelima negara importir jahe terbesar tersebut menguasai 54,1% pasar atau senilai USD 406,7 juta. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan negara yang mengekspor jahe terbesar di dunia dengan pangsa ekspor mencapai 65,1% pada tahun 2015 dengan nilai ekspor sebesar USD 485,3 juta, meskipun sempat mengalami penurunan sebesar 17,0% dari ekspor tahun sebelumnya. Indonesia sendiri hanya mampu berkontribusi 2,6% terhadap ekspor dunia setelah Belanda, India, Thailand, dan Peru dengan pangsa ekspor masing-masing sebesar 9,6%, 6,9%, 3,6%, 3,2%.
Melihat peran Indonesia dalam perdagangan tanaman obat dunia ini memang agak ironis, sehingga berbagai upaya harus dilakukan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam perdagangan tanaman obat di dunia. Hal itu bukan hanya karena Indonesia merupakan live laboratory untuk tanaman obat, namun juga karena prospek perdagangan tanaman obat sendiri juga masih sangat terbuka lebar. World Health Organization (WHO) bahkan memprediksi permintaan tanaman obat mencapai nilai USD 5 triliun pada tahun 2050. Selain itu, permintaan di pasar seperti Amerika Serikat juga menunjukkan perkembangan yang sangat menjanjikan (Sharma, 2004).
4. Potensi dan Kendala Budi Daya Tanaman Obat
Sebagai negara yang berada di daerah tropis, Indonesia mempunyai potensi tanaman obat kedua terbesar di dunia setelah Brazil. Dari total sekitar 40.000 jenis tumbuh-tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30.000-nya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90% dari tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Dari jumlah tersebut, 25% diantaranya atau sekitar 7.500 jenis sudah diketahui memiliki khasiat herbal atau tanaman obat. Namun hanya 1.200 jenis tanaman yang sudah dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan herbal atau jamu (PT. Sido Muncul, 2015). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan dalam hal varian tanaman yang tidak dimiliki oleh kebanyakan negara lainnya di dunia. Prospek budidaya tanaman obat sekarang ini semakin terbuka lebar. Hal ini tidak terlepas dari berkembangnya industri obat herbal baik di dalam maupun di luar negeri akibat gaya hidup back to nature. Selain itu semakin luasnya pemanfaatan tanaman obat untuk keperluan industri lain di luar industri obat tradisional dan farmasi, seperti industri makanan dan minuman, serta industri kosmetik membuat kebutuhan akan tanaman obat sebagai bahan baku semakin tinggi. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari Kementerian Perindustrian, industri produk obat tradisional Indonesia telah berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Data pada tahun 2010 mencatat industri obat tradisional Indonesia hanya sebesar Rp 1,5 triliun, kemudian meningkat sebesar 23,3% menjadi Rp 2,8 triliun pada tahun 2013. Meskipun memiliki peluang yang sangat luar biasa dalam budidaya tanaman obat, Indonesia masih menghadapi banyak kendala dalam hal produksi.
Beberapa kendala tersebut antara lain penyelenggaraan kegiatan budidaya tanaman obat yang belum profesional (diperkirakan 90% bahan baku masih berasal dari tumbuhan liar, hutan dan hasil pekarangan), ketidakmampuan petani dalam menjaga kualitas dan mutu tanaman obat yang disebabkan oleh minimnya bimbingan dan pelatihan yang diberikan kepada petani, dan masih minimnya perhatian industri tanaman obat terhadap hasil-hasil penelitian ilmiah dalam upaya pengembangan produk dan pasar (Pujiasmanto, 2009). Disamping kendala-kendala tersebut, salah satu kendala lainnya yang perlu mendapatkan perhatian besar adalah dukungan pembiayaan dalam mengembangkan usaha agribisnis, terutama untuk petani skala kecil (Pelita, 2016).
Negara Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari
258,8 juta jiwa (IMF, 2017), memiliki kurang lebih kurang 30.000 spesies
tumbuhan dan 940 spesies di antaranya termasuk tumbuhan berkhasiat (180 spesies
telah dimanfaatkan oleh industri jamu tradisional) merupakan potensi pasar obat
herbal dan fitofarmaka (Sukandar, 2014). Dalam Riset Tumbuhan Obat dan Jamu
(RISTOJA) yang dilakukan pada tahun 2015, jumlah tanaman obat yang berhasil
diidentifikasi sebanyak 1.159 tanaman obat yang terdiri dari 156 familia (Balitbangkes,
2015).
Menurut Dr. Xiaorui Zhang, pengobatan tradisional
telah meningkat penggunaanya, baik oleh negara berkembang maupun negara maju.
Sebagai contoh, 60%-80% dari populasi di beberapa negara masih bergantung dari pengobatan
tradisonal sebagai pilihan pengobatan utama masyarakatnya, termasuk
negara-negara di Asia Tenggara. Sekitar 70% dari populasi di Kanada dan 80% di
Jerman juga menggunaan pengobatan tradisional sebagai pengobatan alternatif
mereka (WHO, 2005).
International Council for Medicinal and Aromatic
Plants memperkirakan permintaan tanaman obat global saat ini tumbuh 8-10% per
tahun. Pertumbuhan ini disebabkan meningkatnya kesadaran konsumen dan
permintaan untuk produk-produk alami dan alternatif obat-obatan, disamping juga
meningkatnya biaya obat-obatan (Georgian National Investment Agency, 2011).
World Health Organization (WHO) memperkirakan besaran
pasar global untuk tanaman obat dan produk jamu mencapai sekitar USD 60 miliar
dengan sebagian besar permintaan datang dari Jerman, Jepang, Prancis dan
Amerika Serikat. Penggunaan tanaman herbal sebagai bahan obat di pasar European
Union, diperkirakan sekitar USD 6-8 miliar, lebih dari setengah yang dikonsumsi
di Jerman (Georgian National Investment Agency, 2011).
Penggunaan tanaman obat sebagai bahan obat telah dapat diterima secara luas di dunia. Di dunia, perkembangan obat herbal semakin pesat dengan pemasok terbesar adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India dan Belanda. Konsumsi obat tradisional di negara-negara Asia juga sangat signifikan, seperti RRT mencapai 90%, Jepang 70%, Chile 71%, Kolombia 40%. Di negara-negara Eropa dan Amerika, penggunaan obat tradisional juga ikut berkembang, seperti di Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Amerika Serikat 42% (Warta Ekspor, September 2014). Dalam Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) tahun 2015 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan disebutkan bahwa tumbuhan obat yang digunakan oleh 525 pengobat tradisional di 96 etnis suku di Indonesia berjumlah 19.918. Berdasarkan informasi tersebut 15.640 berhasil diidentifikasi, sedangkan 4.278 informasi tidak dapat dilakukan identifikasi karena kurang lengkapnya data yang ada (Balitbangkes, 2015).
Di beberapa negara berkembang, sebagian besar penduduknya masih terus menggunakan tanaman alami, terutama untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar. Di Indonesia sendiri, banyak tanaman obat dimanfaatkan sebagai bahan dasar berbagai pembuatan jamu, obat-obatan, kosmetik, bahan spa serta bahan baku industri makanan dan minuman. Adanya kecenderungan pola hidup sehat untuk kembali ke alam (back to nature) menyebabkan masyarakat mulai beralih menggunakan bahan alami untuk meminimalisir efek samping seperti obat-obatan kimia (Hernani, 2011).
Penggunaan tanaman obat sebagai bahan obat telah dapat diterima secara luas di dunia. Di dunia, perkembangan obat herbal semakin pesat dengan pemasok terbesar adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India dan Belanda. Konsumsi obat tradisional di negara-negara Asia juga sangat signifikan, seperti RRT mencapai 90%, Jepang 70%, Chile 71%, Kolombia 40%. Di negara-negara Eropa dan Amerika, penggunaan obat tradisional juga ikut berkembang, seperti di Perancis mencapai 49%, Kanada 70%, Amerika Serikat 42% (Warta Ekspor, September 2014). Dalam Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (RISTOJA) tahun 2015 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan disebutkan bahwa tumbuhan obat yang digunakan oleh 525 pengobat tradisional di 96 etnis suku di Indonesia berjumlah 19.918. Berdasarkan informasi tersebut 15.640 berhasil diidentifikasi, sedangkan 4.278 informasi tidak dapat dilakukan identifikasi karena kurang lengkapnya data yang ada (Balitbangkes, 2015).
Di beberapa negara berkembang, sebagian besar penduduknya masih terus menggunakan tanaman alami, terutama untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar. Di Indonesia sendiri, banyak tanaman obat dimanfaatkan sebagai bahan dasar berbagai pembuatan jamu, obat-obatan, kosmetik, bahan spa serta bahan baku industri makanan dan minuman. Adanya kecenderungan pola hidup sehat untuk kembali ke alam (back to nature) menyebabkan masyarakat mulai beralih menggunakan bahan alami untuk meminimalisir efek samping seperti obat-obatan kimia (Hernani, 2011).
Salah satu masalah yang ada dalam
konsumsi penggunaan herbal dan tanaman obat adalah adalah masalah keamanan
produk. Banyaknya produk herbal berupa jamu kemasan yang dicampur dengan Bahan
Kimia Obat (BKO) menjadikan produk jamu kemasan di Indonesia sulit bersaing di
negara lain. Produk jamu BKO ini berbahaya jika dikonsumsi secara terus menerus
dan berlebihan. Maraknya peredaran jamu BKO ini memang sulit dihindari seiring
dengan kesadaran masyarakat atau konsumen yang mengharapkan hasil yang cepat
dalam pengobatan. Edukasi konsumen serta pengetahuan akan produk herbal
tradisonal masih sangat dibutuhkan oleh konsumen.
Dalam perkembangannya, pemerintah menyambut baik dan mendukung pengembangan konsumsi tanaman obat melalui kegiatan Gerakan Bugar Dengan Jamu atau yang disingkat Bude Jamu. Gerakan ini merupakan salah satu program kesehatan nasional berbasis obat tradisional yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 melalui Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang melakukan program inovatif dalam rangka pembinaan usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong (Buletin Infarkes, 2015). Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2013, menunjukkan bahwa 30,4% rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional,
Dalam perkembangannya, pemerintah menyambut baik dan mendukung pengembangan konsumsi tanaman obat melalui kegiatan Gerakan Bugar Dengan Jamu atau yang disingkat Bude Jamu. Gerakan ini merupakan salah satu program kesehatan nasional berbasis obat tradisional yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 melalui Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang melakukan program inovatif dalam rangka pembinaan usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong (Buletin Infarkes, 2015). Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2013, menunjukkan bahwa 30,4% rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional,
Pemanfaatan Tanaman
Obat
Tanaman obat tidak
hanya dapat digunakan sebagai obat tradisional dan konsumsi rumah tangga, namun
juga dapat dikembangkan dan diolah untuk berbagai macam kebutuhan, seperti
industri makanan/minuman, sebagai bahan pembuatan kosmetik dan juga digunakan
dalam industri spa tradisonal (Pribadi, 2009). Pemanfaatan tanaman obat ini
semakin berkembang seiring dengan mulai berkembangnya produk herbal di
tengah-tengah masyarakat modern dan juga peran media dalam meningkatkan citra
produk herbal ke masyarakat.
Dari definisi
Kementerian Kesehatan mengenai tanaman obat sebagaimana tercantum dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan No. 149/ SK/Menkes/IV/1978, beberapa bagian dari
tanaman obat dapat digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda, antara lain:
1.
Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau
jamu;
2. Tanaman
atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (Precursor);
3.
Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut
digunakan sebagai obat.
Tanaman obat
mempunyai berbagai efek pada sistem metabolisme tubuh manusia, ada yang
mempunyai efek analgesik, antioksidan hingga anti inflamasi. Oleh karena itu,
banyak dari masyarakat menggunakan tanaman obat untuk mengobati beberapa
masalah kesehatan, seperti demam, batuk, flu, sakit kepala, sakit perut, pencernaan,
insomnia dan masalah kulit (tanamanobat.net, 2016). Khasiat tanaman obat dapat
berasal dari akar maupun daun, sehingga dari satu macam tanaman obat dapat
memiliki khasiat yang berbeda-beda.
Sumber : Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D, 2017, Info Komoditi Tanaman Obat, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Sumber : Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D, 2017, Info Komoditi Tanaman Obat, Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
Komentar
Posting Komentar