Awal Revolusi Hijau di Dunia
Hai, tahukah kalian siapa Revolusioner Gerakan Revlolusi Hijau di Dunia? Kalau belum tau, mungkin artikel dibawah ini bisa dibaca untuk disimak :)
Revolusi Hijau lahir dari gagasan hasil penelitian dan tulisan Thomas
Robert Malthus pada tahun 1766 - 1834. yang mengemukakan bahwa masalah
kemiskinan adalah masalah yang tidak dapat dihindari oleh manusia.
Thomas Robert Malthus adalah seorang ekonom dan pencetus teori kependudukan dari Inggris. Dalam bukunya yang berjudul "Essay on the Principles of Population", Malthus meyakini bahwa kemiskinan umat manusia merupakan keadaan yang tidak mungkin dihindari.
Kemiskinan terjadi karena pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan
peningkatan produksi pertanian (pangan). Menurut Malthus, pertumbuhan
penduduk berjalan menurut deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128 dan
seterusnya), sedangkan peningkatan produksi pertanian berjalan
berdasarkan deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 dan seterusnya).
Ternyata tulisan Thomas Robert Malthus membawa beberapa pengaruh, antara lain :
1. Gerakan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan cara pengontrolan jumlah kelahiran.
2. Gerakan usaha mencari dan meneliti bibit unggul dalam bidang pertanian.
Adapun latar belakang lahirnya Revolusi Hijau adalah sebagai berikut :
1. Hancurnya lahan pertanian akibat Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
2. Pertambahan penduduk sehingga kebutuhan pangan juga meningkat.
3. Adanya lahan kosong.
4. Upaya peningkatan produksi pertanian.
Untuk lebih lengkapnya, bisa disimak artikel dibawah ini :
Menjelang tutup abad XX keadaan pangan dunia sangat memprihatinkan. Produksipangan tidak merata dan lebih dikuasai oleh negara-negara maju. Hampir seperempat penduduk dunia setiap hari berangkat tidur dengan perut kosong, sedang seperdelapanpenduduk dunia menguasai 80% kekayaan dunia. Meskipun kelaparan dan malagizi sudah diperangi dengan upaya makin meningkat, namun masih ada semilyar orang yang menderita kelaparan terus-menerus, yang 455 juta diantaranya menderita malagizi gawat. Hampir seluruh penderita ini hidup di negara-negara sedang berkembang yang paling miskin (Tanco, Jr., 1983). Pada waktu ini orang yang meninggal setiap tahun, kebanyakan anak-anak, karena kelaparan, malagizi, dan sebab-sebab yang berkaitan dengan pangan berjumlah 13 sampai 18 juta (Speth, 1994). Kelaparan telah membunuh lebih banyak orang daripada jumlah yang terbunuh dalam semua peperangan yang pernah melanda dunia. Kelaparan lebih kejam daripada peperangan karena yang terbunuh kebanyakan justru anak- anak, pembentuk generasi baru. Dalam keadaan seperti ini kita tidak dapat mengharapkan adanya perdamaian dan ketenteraman di dunia.
Kekurangan pangan yang menimbulkan kelaparan dan malagizi akan tetap gawat apabila negara-negara sedang berkembang sebagai suatu keseluruhan tidak mampu memacu pertumbuhan produksi pangan mereka sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat. Tidak semua negara sedang berkembang memiliki sumberdaya lahan yang berkelayakan cukup untuk mengembangkan pertanian dan produksi pangan, atau menguasai teknologi sepadan untuk mengubah lahan tidak/kurang layak menjadi berkelayakan cukup atau mencegah kemunduran kelayakan lahan. Ketimpangan produksi pangan yang sangat mencolok di dunia dapat diperlihatkan dengan memperbandingkan produksi pangan di negara-negara Afrika yang sangat miskin dan Amerika Serikat yang kaya raya. Di Afrika, karena pertambahan penduduk yang begitu cepat dan produktivitas lahan yang terbatas, pertumbuhan keluaran pertanian tahunan per kapita pada tahun 1960-an hanya 0,2% dan bahkan merosot tajam pada tahun 1970-an menjadi -1,4%. Pada masa yang sama, karena kelebihan produksi dan penurunan permintaan pasar dunia, di Amerika Serikat sengaja diberokan lahan pertanian seluas 26 juta ha. Lebih dari pada 50% pangan yang diimpor negara-negara Dunia Ketiga berasal dari Amerika Serikat. Masih ditambah lagi kira-kira 60% jumlah bantuan pangan dipasok oleh Amerika Serikat (Tanco, Jr., 1983).
Kekurangan pangan yang menimbulkan kelaparan dan malagizi akan tetap gawat apabila negara-negara sedang berkembang sebagai suatu keseluruhan tidak mampu memacu pertumbuhan produksi pangan mereka sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat. Tidak semua negara sedang berkembang memiliki sumberdaya lahan yang berkelayakan cukup untuk mengembangkan pertanian dan produksi pangan, atau menguasai teknologi sepadan untuk mengubah lahan tidak/kurang layak menjadi berkelayakan cukup atau mencegah kemunduran kelayakan lahan. Ketimpangan produksi pangan yang sangat mencolok di dunia dapat diperlihatkan dengan memperbandingkan produksi pangan di negara-negara Afrika yang sangat miskin dan Amerika Serikat yang kaya raya. Di Afrika, karena pertambahan penduduk yang begitu cepat dan produktivitas lahan yang terbatas, pertumbuhan keluaran pertanian tahunan per kapita pada tahun 1960-an hanya 0,2% dan bahkan merosot tajam pada tahun 1970-an menjadi -1,4%. Pada masa yang sama, karena kelebihan produksi dan penurunan permintaan pasar dunia, di Amerika Serikat sengaja diberokan lahan pertanian seluas 26 juta ha. Lebih dari pada 50% pangan yang diimpor negara-negara Dunia Ketiga berasal dari Amerika Serikat. Masih ditambah lagi kira-kira 60% jumlah bantuan pangan dipasok oleh Amerika Serikat (Tanco, Jr., 1983).
Sumber : Tanco, Jr., A.R. 1983. Prologue. The first of all imperatives. Banish hunger in our time. Dalam : J.W. Rosenblum (ed.), Agriculture in the Twenty-First Century. A Wiley-Intercience Publication. John Wiley & Sons. New York. H 1-11.
Komentar
Posting Komentar