Allah Itu Tidak Tuli
Setahu
saya, hanya ada satu ritual dalam Islam yang memerlukan teriakan, yaitu
azan. Azan memang perlu dilakukan dengan suara keras, kalau perlu di
tempat yang tinggi, dengan harapan bisa didengar oleh orang sebanyak
mungkin. Azan adalah panggilan salat. Jadi sebaiknya memang didengar
banyak orang.
Di
luar itu, sesuai anjuran Nabi, sebaiknya dilakukan dengan suara lirih.
Berzikir, bedoa, membaca Quran, cukup dengan suara lirih saja. “Engkau
tidak sedang menyeru kepada Zat yang tuli….” Allah itu tidak tuli. Dia
mendengarkan zikir dan doamu meski kau sampaikan dengan suara lirih.
Lalu
kenapa mesjid-mesjid kita berlomba-lomba memasang pengeras suara
bertenaga besar? Ini tidak ada hubungannya dengan Islam. Ini adalah pola
pikir urban gagal. Apa itu urban gagal? Yaitu kaum urban yang hanya
fisik tubuhnya saja pindah ke kota. Pola pikirnya masih kampungan.
Di
kampung yang sepi kebisingan yang dihasilkan dengan pengeras suara
adalah tanda eksistensi. Zaman dulu hanya orang kaya yang mampu menyewa
pengeras suara saat melakukan hajatan. Maka suara berisik dari pengeras
suara itu dianggap simbol kekayaan. Ketika pengeras suara menjadi
semakin terjangkau pola pikir itu tidak berubah. Berisik sama dengan
keren. Pola pikir itu bertahan saat orang-orang kampung pindah ke kota.
Kemudian menurun kepada anak cucu mereka. Hajatan di kampung-kampung
kota selalu berisik dengan pengeras suara. Karena berisik sama dengan
keren.
Ada
yang bilang, ini untuk syiar. Eh, apa itu syiar? Syiar itu siaran. Kata
siar dalam bahasa kita berasal dari kata ini. Apa yang disiarkan? Dalam
konteks dakwah Islam, syiar adalah menyiarkan kebaikan. Dengan
kebisingan? Memaknai syiar dengan siaran memakai pengeras suara adalah
pemaknaan paling dangkal. Syiar yang lebih hakiki adalah perilaku.
Perilaku kita yang didasari oleh syariat Islam, mencerminkan keindahan
Islam, itulah syiar yang hakiki. Bersih, tertib, tepat waktu, hormat
pada orang lain, tidak menzalimi, dan masih banyak lagi contohnya. Syiar
dengan pengeras suara itu adalah syiar yang kandungannya baik (ayat
suci, zikir, doa), tapi salah cara, sehingga pada saat yang sama
menyiarkan keburukan, yaitu gangguan oleh kebisingan. Gangguan oleh
kebisingan itu menutupi kebaikan kandungan syiar.
Ada
banyak bentuk kebisingan lain yang dibuat orang, yang tidak ada sama
sekali tuntunannya dalam ajaran Islam. Sekedar kebiasaan yang kemudian
dimanipulasi seolah itu adalah ajaran Islam. Kebisingan aktivitas
membangunkan orang sahur, itu tidak dituntunkan. Lagipula, aktivitas itu
sudah salah zaman. Sekarang setiap orang punya HP dengan alarm yang
bisa diset, kenapa masih perlu keributan untuk membangunkan orang sahur?
Di
kampung saya Pontianak, membangunkan orang sahur dilakukan dengan
meriam karbit yang suaranya memekakkan telinga, sekaligus sanggup
menggetarkan kaca-kaca jendela. Di mana kita bisa temukan dalam Islam
ada ajaran seperti itu?
Islam
bukan agama bising. Yang kita saksikan adalah orang-orang norak, yang
mengira kebisingan itu keren, dan mencoba melindungi kesukaan mereka itu
dengan cara memberinya label “Islam”. by- Hasanudin Abdurakhman...
Assalamu'alaikum Wr.Wb
BalasHapusBahasa sederhana dan mengalir
Thanks syiarnya.